Badan Standardisasi Nasional
  • A
  • A

Penerapan SNI untuk Mutu dan Keamanan Pangan

  • Rabu, 29 Juni 2016
  • 81177 kali

 

HEBOH makanan tidak layak konsumsi kembali terjadi di Provinsi Lampung. Dalam beberapa kali operasi pasar/sidak yang dilakukan oleh pemerintah (tim BBPOM, pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota), ditemukan beberapa pelanggaran mulai dari makanan yang kedaluwarsa, tidak beregistrasi, tidak ber-SNI, mengandung formalin, hingga makanan yang mengandung bahan tambahan babi dan minyak babi (Lampost, 10 Mei 2016 dan 14 Juni 2016).

 

Fakta ini belum termasuk data monitoring rutin yang dimiliki oleh BBPOM, Dinas Kesehatan, Badan Ketahanan Pangan, LPPMHP, dan instansi terkaitnya lainnya yang secara rutin melakukan monitoring terhadap keamangan pangan di Provinsi Lampung. Masyarakat konsumen, selalu dihantui oleh bahan makanan dan produk olahan yang tidak sesuai dengan standar mutu dan keamanan pangan. 

 

Dengan kondisi ini semakin mendesak bagi pemerintah untuk serius menerapkan standar nasional Indonesia (SNI) khususnya terhadap produk-produk pangan yang beredar di masyarakat.

 

Standar Nasional Indonesia (SNI)

 

Berdasar pada Peraturan Pemerintah Nomor 102 Tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional, Standar Nasional Indonesia (SNI) adalah standar yang ditetapkan Badan Standardisasi Nasional dan berlaku secara nasional. Standar tersebut merupakan spesifikasi teknis yang dibuat berdasarkan kesepakatan pemangku kepentingan (pemerintah, produsen, konsumen, dan pakar) melalui konsensus. 

 

SNI bisa ditetapkan untuk produk barang, jasa maupun proses produksi. Tujuan utama dari penerapan SNI ini adalah meningkatkan perlindungan kepada konsumen, pelaku usaha, tenaga kerja, dan masyarakat lainnya, baik untuk keselamatan, keamanan, maupun kesehatan; mewujudkan persaingan usaha yang sehat dalam perdagangan dan meningkatkan mutu dan daya saing produk dalam negeri. Khusus dalam aspek perdagangan internasional penerapan standar (SNI) dan persyaratan mutu dapat menjaditechnical barriers to trade (TBTs) yaitu halangan nontarif yang diberlakukan untuk mengendalikan masuknya produk-produk impor ke negeri.

 

Di sisi lain, produk ber-SNI juga dapat bersaing di pasar global. Salah satu contohnya adalah negara-negara Timur Tengah yang mensyaratkan label SNI untuk produk-produk pangan dari Indonesia yang akan masuk ke negara tersebut.

 

Dalam penerapan SNI, baru sedikit produk yang diwajibkan (mandatory) berlabel SNI, selebihnya masih bersifat sukarela (voluntary). Berdasar pada Pasal 12 Ayat (2) PP 102/2000, SNI bersifat sukarela untuk diterapkan oleh pelaku usaha. Namun, dalam hal SNI berkaitan dengan kepentingan keselamatan, keamanan, kesehatan masyarakat atau pelestarian fungsi lingkungan hidup dan/atau pertimbangan ekonomis, instansi teknis dapat memberlakukan secara wajib sebagian atau seluruh spesifikasi teknis dan atau parameter dalam SNI (Pasal 12 Ayat [3] PP 102/2000).

 

Berdasarkan sistem informasi SNI BSN, terdapat 201 SNI yang diberlakukan wajib, yang di dalamnya terbagi dalam kelompok barang/produk, jasa maupun proses. Khusus untuk produk pangan baru terdapat enam produk yang memiliki standar wajib, yaitu air minum dalam kemasan (AMDK), tepung terigu, garam beryodium, kakao, gula rafinasi, dan yang terakhir ditetapkan yaitu minyak goreng.

 

Jalan Berliku Penerapan SNI

Ada banyak faktor yang menyebabkan penerapan SNI berjalan lambat di Indonesia. Pertama, di sisi pengusaha, para eksportir lebih fokus untuk memenuhi persyaratan internasional atau buyer, dibandingkan memenuhi SNI. Untuk pasar lokal, produsen pun masih kurang kesadaran untuk menerapkan SNI yang bersifat sukarela karena dianggap menambah biaya produksi. 

 

Apalagi untuk tingkatan UMKM yang memiliki keterbatasan modal dan proses produksi yang sederhana. Padahal, untuk konsumsi sehari-hari, masyarakat banyak memanfaatkan produk-produk dari UMKM. Kedua, dari aspek kelembagaan yang menyertifikasi dan menetapkan surat persetujuan pemberian tanda (SPPT) SNI. Pemberian SPPT SNI dilakukan oleh pihak ketiga (pemerintah atau swasta) yang sudah dinilai dan diakreditasi oleh Komite Akreditasi Nasional (KAN) yang disebut sebagai lembaga sertifikasi produk (LS Pro). Jumlah LS Pro yang ada masih terbatas baik dari segi kuantitas dan kualitas personelnya.

 

Hal ini berpengaruh pada pengawasan dan monitoring terhadap produk yang sudah bertanda SNI di pasar. Berdasarkan survei BSN, tidak sampai 50% produk yang bertanda SNI kualitasnya sesuai dengan standar yang ditetapkan, belum lagi ditambah produk palsu dan tanda SNI palsu. 

 

Ketiga, masyarakat konsumen yang belum mengetahui dan peduli terhadap mutu dan standar barang yang dikonsumsi. Pertimbangan harga masih menjadi faktor utama dalam pemilihan barang, selain memang daya beli masyarakat yang terbatas. Hal ini menjadi PR besar pemerintah untuk mewujudkan pangan murah tapi tetap bermutu. Yang terakhir, aspek regulasi SNI itu sendiri. Berdasarkan evaluasi, beberapa SNI ternyata sulit dipenuhi oleh produsen karena prosesnya yang berbeda atau kurang ramah bagi pengusaha skala UMKM. 

 

Untuk menghadapi berbagai kendala dalam mewujudkan produk dan jasa yang bermutu, pemerintah harus menerapkan strategi baru dalam penerapan SNI di Indonesia. Mulai dari aspek regulasi SNI agar lebih ramah bagi UMKM yang bermodal kecil dan memiliki teknologi pengolahan sederhana. 
Memberdayakan kelembagaan di daerah (UPTD dan laboratorium) untuk lebih berperan dalam sistem standar nasional (SSN) sehingga proses sertifikasi produk, monitoring, dan pengawasan dapat berjalan lebih efektif dengan melibatkan pemerintah daerah. Kebijakan ini tentunya perlu didukung dengan anggaran dan peningkatan SDM yang kompeten. Yang terakhir, memberikan insentif bagi pengusaha/UMKM yang mau menerapakan SNI, terutama yang masih bersifat sukarela (voluntary) seperti pengurangan pajak atau pemotongan biaya sertifikasi. Dengan sinergi antara Pemerintah Pusat, daerah, produsen, dan konsumen, produk Indonesia berstandar dapat cepat terwujud. 

 

 

Sumber : http://lampost.co/berita/penerapan-sni-untuk-mutu-dan-keamanan-pangan

 




­