Badan Standardisasi Nasional
  • A
  • A

Benahi Pelabuhan Ekspor Sumsel

  • Senin, 12 November 2018
  • 1379 kali

PALEMBANG – Dengan luas lahan mencapai 250 ribu hektare, Sumsel jadi produsen kopi terbesar di Indonesia. Namun, di pasaran, malah kalah dengan Lampung. Padahal, sebagian besar kopi yang diekspor dari pelabuhan di ujung selatan Sumatera itu berasal dari Bumi Sriwijaya.

 

Infrastruktur jalan dan pelabuhan lagi-lagi menjadi kendala untuk mendistribusikan kopi Sumsel langsung ke luar negeri. “Banyak faktor yang buat kopi asal Sumsel kurang dikenal,” kata Gubernur Sumsel, H Herman Deru, usai membuka Festival Kopi Rakyat 2018 di Griya Agung, kemarin (10/11).

 

Faktor itu, pertama mayoritas petani Sumsel menjual hasil kebunnya ke pedagang atau eksportir yang ada di Lampung. Baik jarak, kondisi jalan serta akses pelabuhan di Lampung lebih baik ketimbang di Sumsel. Sehingga, ongkos kirim kopi ke Lampung lebih murah.

 

“Pelabuhan ekspor di Sumsel belum berjalan baik. Nah, permasalahan ini akan jadi perhatian kami ke depan,” ucapnya.

 

Dalam waktu dekat, Deru akan meninjau salah satu pelabuhan di kawasan Tanjung Api-Api (TAA). Pelabuhan itu sudah dibangun sejak 2005 tapi kurang berfungsi baik. “Saya akan lihat apakah nantinya bisa difungsikan untuk pelabuhan ekspor,” tuturnya. Jika pelabuhan bisa difungsikan, selanjutnya dirinya akan membuat pelabuhan tersebut sebagai gerbang keluarnya kopi asal Sumsel.

 

Faktor kedua, petani kopi masih melakukan proses tanam, perawatan serta pengolahan secara tradisional. Ia memandang cita rasa kopi Sumsel yang khas menjadi berkurang lantaran pengolahan yang dilakukan belum sempurna dan higienis.

 

Suami Hj Febrita Lustia ini mencontohkan pengolahan kopi di kawasan Kota Agung Pagaralam. Saat melintas di kawasan tersebut, masih banyak kopi yang dijemur di aspal jalanan. Kopi-kopi itu dilindas kendaraan dan lainnya.

 

“Petani harus berbenah mengolah kopi dengan cara yang benar. Memanen biji kopi dengan kualitas yang terbaik, yang sudah benar-benar matang,” ucapnya.

 

Harus ada kemauan dari petani untuk mengubah cara-cara tradisional seperti itu. Pengusaha kopi juga diminta turut andil dalam pembinaan petani. “Dorong mereka dengan memberi harga yang sesuai jika memanen kopi dengan kualitas tinggi. Kemudian edukasi cara menanam dan merawat tanaman kopi,” tandasnya.

 

Harapannya, potensi kopi di Sumsel bisa menjadi salah satu sektor unggulan. “Luas lahan 250 ribu hektare itu bukan angka yang sedikit. Saya berharap ke depannya kita bisa jadi daerah penghasil kopi dunia,” terangnya.

 

Ketua Dewan Kopi Sumsel, Zain Ismed, mengatakan, kopi asal Sumsel sangat besar potensinya untuk dikembangkan. Produksi per hektare per tahun mencapai 0,6-0,9 ton atau sebanyak 140 ribu ton. “Vietnam sudah mencapai 3 juta ton. Tapi, itu bisa dikejar. Asalkan tanaman kopi di Sumsel bisa diremajakan sehingga produktivitasnya meningkat 2-3 kali lipat,” ungkapnya.

 

Permasalahannya, ucap Zain, banyak tanaman kopi Sumsel yang sudah tua. Bahkan, sejak zaman Belanda. Kemudian pengolahan pascapanen juga belum memenuhi standar internasional. Sehingga nilai atau harganya di tingkatan petani sangat rendah.

 

“Petani bukan tidak mau berubah, tapi tidak tahu. Makanya kami juga mendorong pemerintah dan pihak terkait bisa memberikan edukasi SOP penanaman, perawatan, panen dan pengolahan biji kopi yang berstandar internasional,” ucapnya.

 

Kemudian, brand kopi Sumsel sendiri belum menyatu seperti Provinsi Lampung.

Kopi di Sumsel masih menonjolkan daerah penghasilnya. “Brand kopi Sumsel terlalu banyak. Kopi Semendo, Pagaralam, Empat Lawang dan sebagainya. Berbeda dengan Lampung. Dari kabupaten mana saja, orang tahunya itu kopi Lampung. Nah, hal ini juga yang akan kami bahas dengan Gubernur,” ungkapnya.

 

Ketersediaan infrastruktur pelabuhan juga menjadi kendala untuk membawa kopi Sumsel ke luar negeri. Kebanyakan kopi Sumsel diangkut ke Lampung. Sebab pelabuhan ekspor di Sumsel tidak ada. Yang ada hanya pelabuhan sungai dimana kapasitasnya hanya 6000 DWT. Sementara di Lampung, kapasitas angkut bisa mencapai 10-15 ribu DWT. “Itu sebabnya kopi kita lari ke Lampung dan Medan. Karena ongkos angkutnya lebih irit,” bebernya.

 

Kopi asal Sumsel juga kualitasnya belum terjaga. Mayoritas petani masih melakukan proses panen asal petik atau petik pelangi. Biji kopi hijau, kuning dan merah semuanya dipetik dan dicampur. Sehingga harganya di tingkatan petani hanya sebesar Rp23 ribu. Padahal, jika proses petiknya berkualitas, harga kopi kualitas tinggi jenis Green Bean bisa mencapai Rp80 ribu.

 

“Ke depannya, kami juga akan melakukan berbagai pelatihan kepada petani agar bisa menaikkan standar kualitas produksinya,” ucapnya. Beberapa tahun terakhir, banyak bermunculan merek dagang kopi di Sumsel. Ini merupakan salah satu upaya untuk memotong distribusi kopi ke wilayah Lampung. “Ini jadi salah satu cara untuk memangkas biaya angkut yang cukup besar,” katanya.

 

Merek kopi Sumsel ini harus distandardisasi. Sehingga, cita rasa dan kehigienisannya tetap terjaga. Pertumbuhan usaha kedai kopi di Palembang dan wilayah lainnya di Sumsel juga ikut mendorong distribusi hasil petani kopi Sumsel terserap dengan baik.

 

Terpisah, Kepala kantor Pelayanan Teknis Badan Sertifikasi Nasional (BSN) Palembang, Hariyanto, mengatakan, merek kopi yang sudah mengantongi sertifikasi SNI baru dua. Yakni Kopi Tunggu Tubang dan Kopi Benua. Sementara untuk merek kopi Sumsel jumlahnya mencapai ratusan.

 

“Kami juga sedang memproses pengajuan SNI tiga merek lainnya. Yakni Bola Dunia, Kawah Dempo, Kopi Gigir Pagaralam, dan Raja Item. Harapannya, seluruh merek kopi di Sumsel bisa mengajukan sertifikasi SNI sehingga bisa bersaing dengan produk lainnya,” terangnya.

Festival Kopi Rakyat 2018 memamerkan berbagai produk kedai kopi di Sumsel. Sebanyak 27 UKM ambil bagian dalam festival tersebut. Diharapkan, Festival tersebut bisa mengenalkan produk kopi UKM kepada masyarakat.

 

Ketua Pelaksana Kegiatan dari Event Organizer The 8 People, Yoga Fiater, mengatakan, peserta acara itu merupakan UKM yang memiliki merek atau brand tersendiri terhadap produk kopi hasil olahannya. “Kebanyakan kedai kopi dari Palembang. Tapi, biji kopi yang dijual mereka itu merupakan produk petani Sumsel yang bekerja sama dengan mereka,” ujarnya. (kos/ce1)

 

SUMBER : Sumatera Ekspres Online, 11 November 2018




­