Badan Standardisasi Nasional
  • A
  • A

Penggunaan “National Quality Infrastructure (NQI)” oleh Regulator untuk mengurangi Hambatan Teknis Perdagangan Thematic Session - TBT WTO Meeting, 12-13 November 2019

  • Jumat, 15 November 2019
  • 5642 kali

National Quality Infrastructure (NQI) merupakan kerangka mutu yang ditetapkan dalam penerapan standardisasi, penilaian kesesuaian metrologi dan akreditasi. Pemerintah berperan penting dalam mengembangkan  dan menerapkan NQI yang efektif.  Penerapan NQI yang efektif sangat penting dalam memfasilitasi perdagangan dan mengurangi hambatan teknis. Untuk itu anggota WTO sepakat untuk meningkatkan legal framework yang transparan dan independen dalam sistem NQI.

Sebagaimana salah satu hasil rekomendasi eight triennial review WTO yang diadopsi pada tahun 2018  terkait penilaian kesesuaian diperlukan adanya thematic session di sidang TBT WTO terkait  NQI dalam mengurangi hambatan teknis perdagangan.

Bersamaan dengan sidang komite TBT WTO pada bulan November 2019, dalam forum thematic session ini terdapat 6 panel sesi yang terdiri dari sesi akreditasi, metrologi, prosedur penilaian kesesuaian, NQI sistem dan pendekatan regional dalam infrastruktur mutu.  Berbagai Negara seperti US, EU, Brazil, China, Turki, Jepang, Selandia baru, Australia,dan beberapa negara lainnya berkontribusi dalam menyampaikan sistem NQI  dalam negaranya.

Indonesia menjadi salah satu pembicara dalam forum tersebut dengan topik “Indonesia Experience on the use of accreditation  as a basis for the acceptance of conformity assessment result”.


Presentasi disampaikan oleh Konny Sagala, Direktur Sistem Penerapan Standar-BSN bersama dengan panel lain dari Uni Eropa dan Mesir. Dalam pemaparannya Konny Sagala menyampaikan sistem dan institutional arrangement terkait standardisasi dan penilaian kesesuaian berdasarkan ketentuan UU no 20 tahun 2014 serta penekanan terhadap peran akreditasi dalam memfasilitasi regulator khususnya di dalam negeri untuk pemastikan pemenuhan persyaratan SNI maupun skema lain seperti halal, perjalanan umrah dan  pariwisata. Selain di dalam negeri, peran akreditasi terhadap Lembaga Penilaian Kesesuaian juga menjadi salah satu cara untuk menjamin kompetensi LPK yang ditunjuk di forum perjanjian yg mengikat di ASEAN. Misalnya untuk memfasilitasi perdagangan antar negara ASEAN di sektor elektronik dan elektrik. 

Hal penting lain adalah terkait pentingnya peran akreditasi dalam memfasilitasi eksporter Indonesia untuk menembus akses pasar negara lain seperti UAE untuk halal, EU dan US untuk produk kayu. Dalam kesimpulannya Konny Sagala menekankan agar anggota WTO mempertimbangkan penggunaan akreditasi khususnya akreditasi dalam kerangka signatory forum IAF dan ILAC dalam menghilangkan hambatan teknis perdagangan.

Dalam panel ini Uni Eropa juga menyampaikan terkait keberterimaan penilaian kesesuaian di Uni Eropa yang hanya berdasarkan akreditasi dalam kerangka signatory European Cooperation for Accreditation (EA). Sedangkan akreditasi dalam kerangka IAF ILAC yang dilakukan oleh badan akreditasi diluar EU hanya  dapat diterima jika terdapat perjanjian antar pemerintah (G to G) antara EU dengan anggota WTO lainnya. Untuk pelaksanaan kegiatan akreditasi di Uni Eropa  diatur dalam EU Regulation (EC) No 765/2008 on Accreditation. Selain Uni Eropa Mesir juga menyampaikan paparannya terkait kegiatan akreditasi di negaranya dan partisipasi badan akreditasi Mesir di SMIIC dan IHAF dalam memfasilitasi saling pengakuan produk halal.

Untuk lebih jelasnya pelaksanaan thematic session ini juga bisa dilihat dalam link  https://www.wto.org/english/res_e/webcas_e/webcas_video_e.htm?webcast_id=118&subject_code=TBT.

(KS, AW, RS)