Badan Standardisasi Nasional
  • A
  • A

BSN Bahas Eliminasi Asam Lemak Trans Industrial dalam Peringatan Hari Keamanan Pangan Dunia 2020

  • Selasa, 09 Juni 2020
  • 3631 kali

World Health Organization (WHO) atau Badan Kesehatan Dunia menargetkan untuk mengeliminasi Asam Lemak Trans Industrial (ALTi) dalam rantai pasok pangan dunia pada tahun 2022 atau menjelang 2023. Untuk itu, perlu dicari terobosan sumber-sumber baru pengganti ALTi di dalam negeri. Badan Standardisasi Nasional (BSN) selaku Sekretariat Komite Nasional Codex Indonesia yang terkait dengan standar pangan, memandang bahwa sangat penting untuk menjawab tantangan ini, mengingat waktu yang ditargetkan WHO tinggal beberapa tahun lagi. Oleh karena itu, bertepatan dengan Peringatan World Food Safety Day atau hari Keamanan Pangan Dunia yang diperingati setiap tanggal 7 Juni, BSN menyelenggarakan webinar dengan tema Menghilangkan Asam Lemak Trans Industrial (ALTi) dari Rantai Pasok Pangan: Perspektif Indonesia secara online pada senin (8/6/2020).

Acara dibuka oleh Plt. Kepala Badan Standardisasi Nasional, Puji Winarni yang menyatakan bahwa, “Merujuk pada pelarangan penggunaan Asam Lemak Trans Industrial, webinar ini bertujuan untuk mencari terobosan sumber-sumber baru pengganti ALTi di dalam negeri yang menjadi sangat penting dan berkelanjutan.”

Minyak sawit atau Crude Palm Oil (CPO) dapat menjadi sumber lemak yang menjanjikan, sehingga hal ini menjadi alternatif yang cukup baik dari pelarangan ekspor CPO yang saat ini dihadapi Indonesia. Dengan melalui kajian yang lebih dalam mengingat food safety bukan hanya urusan para pakar, para akademisi, para peneliti, juga menjadi urusan para pembuat keputusan baik di tingkat negara, maupun di tingkat rumah tangga sebagai konsumen akhir dari seluruh rantai pasokan makanan. “Keamanan pangan menjadi urusan kita semua,” demikian diungkapkan oleh Puji Winarni. “BSN selalu mendukung segala upaya untuk menghasilkan makanan yang bergizi, enak dimakan, juga memberikan jaminan keamanan dan keselamatan konsumen,” pungkas Puji Winarni yang juga mewakili para Ibu Rumah Tangga di Indonesia.

Acara yang dimoderatori oleh Vice-Chair Codex Alimentarius Commission, Purwiyatno Hariyadi ini menekankan bahwa tema webinar kali ini menyangkut berbagai upaya yang sudah dilakukan oleh banyak negara yang berhubungan dengan industrially produced trans fat atau asam lemak trans industrial. Poin penting disini adalah bagaimana perspektif Indonesia terhadap hal tersebut. WHO sudah menargetkan untuk menghilangkan atau mengeliminasi industrially produced trans fat dari sistem rantai pasok pangan dunia pada tahun 2022 atau menjelang tahun 2023.

Asam lemak trans industrial yang bersumber dari partially hydrogenated oil (PHO) diperlukan oleh industri makanan, seperti produsen biskuit. Sebagaimana yang diketahui, bahwa untuk Indonesia harus memiliki perspektif berbeda karena posisinya sebagai penghasil minyak sawit yang memiliki karakter tertentu. “Di berbagai negara, minyak sawit sudah dijadikan alternatif menggantikan PHO,” terang Purwiyatno Hariyadi. 

Sementara itu, dari Badan Litbang Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Nelis Imanningsih menjelaskan bahwa penyakit stroke, jantung, dan diabetes adalah 3 peringkat teratas penyakit penyebab kematian di Indonesia. Dari hasil studi diet total tahun 2015, berhasil diidentifikasi beberapa jenis pangan yang berkontribusi pada trans fatty acid, no.1 adalah palm oil dengan catatan tergantung dari proses pengolahannya sebelum menyambungkan dengan data kandungan fatty acid di dalamnya. Selain itu, mie instan, roti, biskuit, margarin, hingga keripik juga termasuk makanan yang mengadung fatty acid atau asam lemak.

Nelis menyayangkan hingga saat ini belum terdapat data nasional paparan asam lemak di Indonesia. Namun, masih terdapat arsip sampel dari foodlist Indonesia, berupa komposit sampel dari 15 provinsi yang dapat dilakukan analisis untuk mendapatkan database makanan komposit yang bisa dijadikan satu dengan data konsumsinya.

Kemudian, Nelis berpesan kajian paparan asam lemak trans sebaiknya menggunakan database kandungan makanan olahan yang ada di Indonesia. Analisis lanjut pada data konsumsi Survei Konsumsi Makanan Individu (SKMI) masih sangat mungkin berdasarkan faktor pengolahan makanan, faktor usia, dan lain-lain. “Dua hal yang harus diperhatikan adalah makanan yang mengandung asam lemak trans tinggi dan banyak konsumennya.,” tutup Nelis.

Kemudian dari Departemen Teknologi Pangan dan Hasil Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Gadjah Mada, Sri Raharjo memaparkan mengenai efek ALTi terhadap kesehatan. Dalam materinya, Sri Raharjo menjelaskan industri makanan menggunakan lemak trans atau PHO untuk tujuan menghantarkan panas saat menggoreng, menghasilkan rasa dan tekstur tertentu pada produk makanan, dan lain-lain. Banyak industri makanan menggunakan lemak trans atau PHO pada waktu yang lalu adalah karena PHO memberikan banyak kemudahan dalam penanganannya, formulasi, juga dari sisi harga relatif lebih murah dan bisa berkontribusi pada umur simpan bahan makanan yang lebih lama.

Lemak trans industrial atau Trans Fatty Acid (TFA) bisa berasal dari bahan alami maupun buatan, ruminansia atau hewan pemakan tumbuhan (herbivora) yang mencerna makanannya dalam dua langkah: pertama dengan menelan bahan mentah, kemudian mengeluarkan makanan yang sudah setengah dicerna dari perutnya dan mengunyahnya lagi. TFA dihasilkan dari bakteri yang hidup di area rumen (perut) hewan herbivora tersebut, ini merupakan contoh lemak trans alami. 

Sri Raharjo  melanjutkan, TFA buatan biasanya berasal dari PHO. Proses-proses pemurnian minyak, menggoreng makanan dengan minyak bersuhu tinggi secara berulang kali turut memproduksi TFA buatan. Sedangkan, pada produk minyak sawit segar atau belum digunakan untuk proses-proses memasak cenderung tidak ditemukan kandungan lemak trans. 

Adapun, menurut Sri Raharjo, “Porsi terbesar asupan lemak trans di Indonesia berasal dari makanan yang digoreng.” Lemak trans buatan memberikan efek buruk terhadap kesehatan jantung.  Sebaliknya, lemak trans alami tidak memberikan efek negatif, bahkan memberikan efek protektif bagi kesehatan.

Disjmpulkan lemak trans menimbulkan banyak penyakit, selanjutnya yang bisa dilakukan sebagai alternatif penggunaan lemak trans, dari sisi performance, ketersediaan, harga harus bisa memenuhi kriteria kebutuhan industri. Satu alternatif untuk menggantikan lemak trans adalah penggunaan minyak sawit, karena memiliki beberapa fraksi yang memiliki karakteristik performance seperti PHO, dari sisi harga cukup terjangkau. “Salah satu penelitian dari Italia menyatakan bahwa konsumsi bahan-bahan dari minyak sawit tidak menyebabkan gangguan kesehatan, juga salah satu penelitan dari Spanyol pun menyatakan bahwa konsumsi minyak sawit tidak menimbulkan penyakit atau beresiko rendah terhadap gangguan kesehatan,” ungkap Sri Raharjo.

Lebih lanjut perwakilan dari Southeast Asian Food and Agriculture Science and Technology (SEAFAST) Center, Institut Pertanian Bogor, Nuri Andarwulan memaparkan mengenai kebijakan manajemen resiko ALTi. Program WHO menyebutkan replacing trans fat dengan unsaturated fatty acid yang dapat menurunkan resiko penyakit jantung. Kebijakan tersebut dikenal dengan nama REPLACE atau REviewing dietary sources of industrial produced trans fat; Promoting the replacement of industrially produced trans fat with healthier alternatives; Legislating or enacting regulatory actions to ban industrially produced trans fat; Assessing the trans-fat content in food and the population’s consumption; Creating awareness of the negative health effects of trans fats; Enforcing policies and regulations.

Saat ini terdapat 23 negara yang meregulasi pelarangan atau pembatasan penggunaan TFA, diantaranya adalah Kanada, Denmark, Afrika Selatan, India, Singapura, Amerika Serikat, Austria, Arab Saudi, Argentina, dan lain-lain. Eropa memberikan regulasi berbeda untuk pelabelan produk makanan, basisnya adalah 2% kandungan lemak trans pada makanan bukan pada total produknya. Singapura diketahui akan mengeliminasi penggunaan PHO pada tahun 2021 mendatang.

Mengutip dari presentasi Nuri Andarwulan, sebuah studi mengenai kebijakan terhadap pengurangan konsumsi TFA, berhubungan dengan cardiovascular disease dan kebijakannya yang intinya adalah semua kebijakan yang diambil terkait TFA oleh suatu negara menurunkan angka asupannya yang juga akan berefek pada performa kesehatan yang berhubungan dengan cardiovascular disease. Regulasi manajemen resiko yang berhubungan dengan eliminasi TFA memberikan dampak yang paling besar, dibandingkan yang sukarela yang menurunkan asupan konsumsi TFA sebesar 38%. Disebutkan juga sebagai kewajiban pelabelan yang menurunkan asupan TFA sebesar 30% - 74%.

Menurut Nuri Andarwulan, yang paling ideal untuk kebijakan manajemen resiko menghilangkan ALTi adalah melarang, mengeliminasi secara wajib untuk PHO, berdasarkan kajian ilmiah yang dilakukan oleh Nuri.

Metode interestifikasi fat bisa menjadi alternatif pengganti PHO yang tidak mengandung trans fat di dalamnya. Interestifikasi merupakan proses pengolahan lemak atau minyak dimana trigleserida dalam minyak akan ditukar satu dengan yang lainnya dengan bantuan katalis Sodium Methooxide, mengutip presentasi perwakilan dari PT. Salim Ivomas Pratama, Susan Tjahjadi mengenai strategi dan peta jalan penggunaan dan eliminasi ALTi di PT. Salim Ivomas Pratama (SIMP).

Interesterified (IE) fats sebagai pengganti penggunaan TFA di PT. Salim Ivomas Pratama sudah mulai dilakukan pada tahun 2020 ini, yang mana sebagian produk margarin sudah mulai menggunakan IE fats, selain itu SIMP sudah memiliki plant untuk memproduksi IE fats di Surabaya, yang selanjutnya SIMP terus melakukan pengembangan untuk produksi IE fats sendiri. Ditargetkan semua produk margarin SIMP tidak menggunakan PHO mulai tahun 2023 mendatang.

Direktur Pengembangan Standar Agro, Kimia, Kesehatan dan Halal BSN, Wahyu Purbowasito turut memberikan sambutan di awal acara yang bekerja sama dengan Kementerian dan Lembaga yang tergabung dalam Komite Nasional Codex Indonesia, diantaranya adalah Kementerian Pertanian, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Perindustian, Kementerian Kesehatan, Kementerian Perdagangan, Kementerian Luar Negeri, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), serta Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (GAPPMI). (PjA – Humas).




­