Badan Standardisasi Nasional
  • A
  • A

Tantangan bertumpuk di tengah liberalisasi pasar

  • Kamis, 31 Desember 2009
  • 1939 kali

Struktur ekonomi semakin rapuh 
   
Tahun 2009 yang penuh tantangan segera kita lewati. Kita patut bersyukur di bawah tekanan perekonomian global yang masih belum sepenuhnya pulih, perekonomian nasional masih tumbuh.
Dari sisi fundamental, sejumlah indikator menunjukkan kondisi ekonomi makro kian meyakinkan. Nilai tukar rupiah yang sempat anjlok ke posisi Rp12.000 per dolar AS saat krisis finansial global mencapai puncaknya, kini mulai stabil di kisaran level Rp9.500. Laju inflasi juga terkendali di mana pada Januari-November tercatat 2,45%. Produk domestik bruto (PDB) Januari-September 2009 tumbuh 4,2%.

Namun, pada tataran mikro belum terlihat perbaikan signifikan. Pertumbuhan industri jauh dari memuaskan, bahkan gejala deindustrialisasi dini semakin kuat dirasakan.

Ini a.l. terlihat pada pertumbuhan sektor ini yang jauh di bawah pertumbuhan PDB. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan industri pengolahan pada Januari-September 2008 terhadap Januari-September 2009 hanya 1,4%.

Banyak kalangan berharap kinerja perekonomian, terutama sektor riil, jauh lebih baik. Harapan ini sangat besar, apalagi melihat antusiasme pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya saat National Summit pada Oktober.

Pertumbuhan PDB Jan-Sep 2008 terhadap Jan-Sep 2009
Sektor usaha Pertumbuhan (%)
1. Pertanian, peternakan, kehutanan & perikanan 3,4
2. Pertambangan dan bahan galian 4,1
3. Industri pengolahan 1,4
4. Listrik, gas dan air bersih 13,9
5. Konstruksi 7,2
6. Perdagangan, hotel dan restoran -0,2
7. Pengangkutan dan komunikasi 17,6
8. Keuangan, real estat dan jasa perusahaan 5,5
9. Jasa-jasa 6,7
PDB 4,2
PDB tanpa migas 4,6
Sumber: BPS

Salah satu masalah besar sejak krisis 1998 ialah melemahnya daya saing sektor riil, terutama industri, akibat iklim usaha tak kondusif.

Perhatian pemerintah terhadap sektor ini relatif kurang, sehingga perannya terus merosot. Pelemahan kinerja sektor ini berdampak luas bagi perekonomian. Struktur ekonomi rapuh karena didukung perkembangan sektor-sektor yang kurang menyerap tenaga kerja formal dan cenderung menyerap pekerja informal.

Gejala itu perlu segera diatasi karena tidak sejalan dengan pematangan struktur ekonomi agar menjadi lebih tangguh dan modern, yang bisa menyejahterakan lapisan terbesar masyarakat.

Peran sektor industri kian penting sejalan dengan diberlakukannya liberalisasi perdagangan, khususnya China-Asean Free Trade Agreement (ACFTA) mulai awal 2010.

Tanpa ada perhatian lebih serius terhadap sektor ini, industri nasional akan semakin terjepit dan sebaliknya gejala deindustrialisasi menguat.

Hal itu semakin terasa jika melihat perkembangan arus masuk produk China dalam beberapa waktu terakhir yang terus membanjiri pasar dalam negeri. Pangsa pasar impor dari China terus meningkat.

Berdasarkan data BPS hingga kuartal III/2009, pangsa pasar produk impor asal China mencapai 17,16%, naik dibandingkan dengan periode yang sama 2008 yang 15,28%. China menempati urutan teratas sebagai pemasok barang ke Indonesia.

Oleh sebab itu, dalam menghadapi ACFTA pada 2010, pemerintah diharapkan melihat masalah yang dihadapi industri nasional dalam sudut pandang yang lebih luas.

Untuk menghadapi implementasi sistem perdagangan bebas, tidak hanya ACFTA, kita harus berpikir bahwa pertahanan paling baik adalah dengan kebijakan offensive, jangan sekadar defensive.

Dalam Roadmap Industri 2010-2015 yang diserahkan Kadin kepada pemerintah belum lama ini, disebutkan sejumlah rekomendasi tentang tindakan yang perlu ditempuh pemerintah bersama dunia usaha sebagai guideline.

Kerja sama bilateral

Kita juga perlu mengoptimalkan berbagai kerja sama ekonomi bilateral seperti Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement (IJ-EPA). Dalam IJ-EPA a.l. disebutkan adanya keharusan Jepang untuk membantu capacity building sektor industri. Ini perlu dimanfaatkan secara optimal untuk meningkatkan daya saing domestik.

Hal utama adalah menjaga dan menciptakan persaingan yang sehat di pasar dalam negeri. Sesungguhnya banyak di antara produk industri nasional yang berdaya saing cukup bagus, bahkan mampu menembus pasar negara maju. Namun, mereka sering kehilangan daya saing di pasar dalam negeri sendiri akibat iklim persaingan tidak sehat, baik akibat peredaran produk ilegal maupun karena tak memenuhi standar.

Penting bagi pemerintah dan pelaku industri untuk membangun persaingan yang sehat dan melakukan pengawasan lebih ketat terhadap peredaran barang di pasar domestik.

Menurut data Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Departemen Perindustrian, per Januari 2009 hanya 84 produk industri yang menerapkan standar nasional Indonesia (SNI), dari sekitar 4.000 produk manufaktur yang beredar. Dari 84 SNI itu, hanya 39 produk yang telah diberlakukan SNI wajib dan sudah dinotifikasi ke WTO.

Pemerintah juga perlu memperkuat peran dan fungsi Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) karena selama ini komite ini kurang optimal. Peran KADI penting agar Indonesia bisa menerapkan bea masuk antidumping guna membentengi pasar dari persaingan tidak sehat berupa dumping.

Peran KADI kian penting karena sangat mungkin di tengah arus perdagangan bebas, banyak negara yang memberi insentif baik secara langsung maupun tidak langsung kepada industrinya melalui berbagai kebijakan di dalam negerinya.

Berbagai instrumen fiskal yang memungkinkan untuk menekan biaya produksi dan biaya usaha perlu dimanfaatkan untuk meningkatkan daya saing produk industri nasional, seperti fasilitas pajak pertambahan nilai (PPN) dan bea masuk (BM) bahan baku dan bahan baku penolong. Termasuk dalam hal ini mempercepat implementasi harmonisasi tarif.

Selain masalah infrastruktur, pelaku industri nasional juga masih mengalami kendala pembiayaan untuk meningkatkan daya saing.

Perhatian perbankan terhadap sektor ini sejauh ini tergolong minim sehingga pembiayaan untuk revitalisasi permesinan/pabrik sulit diperoleh. Padahal revitalisasi bidang produksi penting untuk meningkatkan daya saing.

Pemerintah dan BI perlu melakukan langkah konkret untuk meningkatkan akses pembiayaan ke sektor industri.

Kehadiran bank yang khusus menangani pembiayaan bagi industri diperlukan agar perbedaan persepsi mengenai prospek industri nasional yang terjadi antara perbankan dan pelaku industri segera diatasi.

Oleh Rachmat Gobel
Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Industri, Riset dan Teknologi

Sumber : Bisnis Indonesia, Kamis 31 Desember 2009, Hal. i1




­