Badan Standardisasi Nasional
  • A
  • A

Instrumen Nontarif Lebih Efektif Hadapi FTA

  • Senin, 04 Januari 2010
  • 1233 kali

HINGGA saat ini, pemerintah masih terlalu memperhatikan soal instrumen tarif dalam menghadapi perdagangan bebas ASEAN-China (ASEAN-China Free Trade Area/FTA). Sementara itu, instrumen nontarif yang bisa melindungi produk domestik dari serbuan barang China belum disentuh.

Ekonom Econit Hendri Saparini menyebutkan kinerja pemerintah masih  ugal-ugalan
dalam menangani FTA ASEAN-China yang mulai diberlakukan 1 Januari 2010 itu. "Pos tarif tidak terlalu efektif. Pemerintah seharusnya bisa mengoordinasikan cara menghadapi barang-barang China yang masuk, misalnya berupaya melakukan moratorium liberalisasi untuk mengantisipasi FTA ini," ujarnya, kemarin.

Hendri melihat pemerintah lebih banyak menyisir soal pos mana saja yang tarifnya bisa dibebaskan (0%) dalam FTA tersebut. "Mengenai pos tarif, kenapa yang terpilih hingga mencapai 228 jenis. Saya melihat pemilihan ini tidak didasarkan strategi penjualan. Ini sangat tidak jelas dan butuh pengelompokan ulang."

Menurul dia, instrumen nontarif seperti pemberlakuan standar nasional Indonesia (SNI) sangat diperlukan dan bisa lebih efektif. "Mudah-mudahan SNI bisa mendorong pasar dalam negeri untuk menyesuaikan standar. Kita harus memiliki keberanian rnenaklukkan FTA, khususnya dengan China."

Pengamat ekonomi UGM Revrisond Baswir juga menilai FTA ASEAN-China akan menimbulkan risiko konflik ekonomi politik dalam negeri. Konflik tersebut muncul dari persaingan tidak sehat antar pengusaha.

Tidak hanya bersaing dengan sesama kawan senegara, pengusaha juga dituntut mampu bersaing dengan serbuan produk dari ASEAN, khususnya China. Jika tidak mampu, imbas negatif akan banyak terjadi pada UKM dan pengusaha. "Lagi-lagi pengusaha dirugikan. Mau 228 pos tarif mau 3.000 atau berapa pun, memang kita belum bisa."
C/DU/X-10)

Sumber : Media Indonesia, 4 Januari 2010, Hal. 1




­