Badan Standardisasi Nasional
  • A
  • A

Dampak AC-FTA Bergantung Antisipasi Pemerintah

  • Jumat, 08 Januari 2010
  • 1396 kali
JAKARTA - Kalangan pengamat meminta pemerintah segera menyiapkan langkah-langkah antisipatif guna mencegah dampak luas dari pelaksanaan pasar bebas Asean dengan Tiongkok (AC-FTA). Jika tidak, sektor manufaktur di Tanah Air terancam bangkrut dan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) massal.

"Jika pemerintah tidak segera melindungi industri dalam negeri, mereka (pemanufaktur) lambat laun akan berubah menjadi pedagang barang asal Tiongkok," ujar ekonom Indef Aviliani saat dihubungi Investor Daily, Kamis (7/1).

Dia menambahkan, salah satu langkah antisipatif yang bisa dilakukan pemerintah saat ini adalah menerapkan Standar Nasional Indonesia (SNI) bagi setiap produk dalam negeri maupun impor yang beredar di pasaran. Penerapan SNI, menurut Avili-ani akan mencegah peredarah barang murah namun berkualitas rendah.

"Kebanyakan produk asal Tiongkok yang beredar harganya lebih murah dibanding produk lokal," ujar dia.

Apabila pemerintah tidak segera menetapkan SNI, masyarakat akan dirugikan dengan banyaknya produk berkualitas rendah yang bebas beredar. "Selain itu, keamanan produk impor tidak terjamin jika tidak ada SNI-nya," tutur Aviliani.

Pemerintah, kata dia, harus bisa menentukan industri yang mampu bersaing dan industri yang akan terkena dampak paling besar dari pelaksanaan AC-FTA. "Misalnya industri garmen, makanan dan minuman, harus bisa dilihat prospeknya dalam lima tahun ke depan," tutur Aviliani.

Dengan begitu, menurut dia, pemerintah bisa fokus dalam mengembangkan industri yang mampu bersaing dengan serbuan produk impor. Secara terpisah, pengamat ekonomi asal Universitas Gadjah Mada (UGM) Sri Adiningsih menilai, pemerintah pusat dan daerah harus menjadi penentu masa depan ekonomi hidonesia dalam pelaksanaan AC-FTA. "Harmonisasi tarif bea masuk menjadi salah satu langkah yang penting untuk diambil saat ini," tutur dia.

Sri menilai, saat ini banyak pengenaan tarif bea masuk yang kurang tepat dan memberatkan. "Contohnya saja, barang jadi yang masuk ke Indonesia tidak dikenakan tarif, tetapi barang intermediate malah dikenakan tarif bea masuk," keluh dia.

Sri menambahkan, beberapa hambatan industrialiasi seperti infrastruktur dan birokrasi juga mendesak untuk dibenahi. "Dalam hal ini kita masih kalah bersaing dengan negara-negara peserta AC-FTA lainnya," ujar dia.

Terkait permintaan Menteri Perdagangan (Mendag) Mari Elka Pangestu dan Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Rusman Heriawan agar AC-FTA dimanfaatkan untuk meningkatkan volume ekspor nonmigas Indonesia, pengamat ekonomi Econit Hendri Saparini meminta pemerintah mencoba mengembangkan pasar ekspor selain negara-negara peserta AC-FTA bagi produk-produk manufaktur Indonesia. "Untuk itu, pemerintah harus memiliki matriks spesifikasi karakter produk serta karakter negara tujuan selain peserta AC-FTA," ujar Hendri.(cl30)

Sumber : Bisnis Indonesia, Jum’at 8 Januari 2010, Hal. 23





­