Badan Standardisasi Nasional
  • A
  • A

Isu Ekspor Limbah Non-B3 Uni Eropa diangkat Indonesia pada Sidang Komite TBT WTO

  • Senin, 13 Maret 2023
  • 4057 kali

Rancangan Peraturan Uni Eropa terkait Waste Shipment Regulation menjadi salah satu isu offensive yang diangkat Indonesia pada Sidang Komite Technical Barriers to Trade World Trade Organization (TBT WTO) yang dilaksanakan pada Rabu hingga Jum’at (8 – 10/3/2023), Delegasi Indonesia dipimpin oleh Deputi Bidang Penerapan Standar dan Penilaian Kesesuaian Badan Standardisasi Nasional (BSN), Zakiyah.

Berkenaan dengan adanya rancangan peraturan tersebut, akan membatasi ekspor limbah non-Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) ke negara-negara non-Uni Eropa, termasuk membatasi Kertas Daur Ulang (KDU). KDU sangat dibutuhkan sebagai bahan baku bagi industri kertas. Uni Eropa merupakan pemasok utama bahan baku KDU yang dibutuhkan Industri Pulp dan Kertas Indonesia (IPK) yang hingga saat ini masih belum bisa dipenuhi dari dalam negeri, baik dari sisi kualitas maupun kuantitas. 

Indonesia menjelaskan bahwa pengaturan impor limbah B3 dan non-B3 di Indonesia pun telah diatur sedemikian rupa untuk memastikan bahwa limbah yang diimpor telah sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Artinya, Indonesia sangat memperhatikan kualitas kertas daur ulang yang dikirim ke Indonesia, kecukupan infrastruktur dan proses pengolahan limbah, sehingga Indonesia meminta konfirmasi Uni Eropa bilamana dapat ditetapkan sebagai salah satu "The Listed Countries" dan dibebaskan dari persyaratan administratif serta sertifikasi yang memakan waktu dan biaya.

Indonesia juga mengangkat isu Maximum Residue Levels (MRL) for Clothianidin and Thiamethoxam ke Uni Eropa. Indonesia menyampaikan bahwa batas Maksimum Residu/Maximum Residue Limit (MRL) berkaitan dengan standar keamanan pangan, bukan dengan ketentuan perlindungan lingkungan. 

Pengenaan MRL untuk perlindungan lingkungan menyimpang dari tujuan MRL itu sendiri. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai dasar hukum yang menunjukkan ketidakkonsistenan dengan tujuan Peraturan MRL Uni Eropa yaitu dalam memastikan perlindungan konsumen dan kesehatan hewan yang tinggi dan untuk menghilangkan hambatan perdagangan dan memfasilitasi perdagangan internasional. Oleh karena itu, Indonesia berharap Uni Eropa dapat mempertimbangkan untuk merujuk standar internasional seperti CODEX sebagai referensi untuk clothianidin dan thiamethoxam.

Selain ke Uni Eropa, Indonesia juga mengangkat 3 isu offensive ke India yang berkaitan dengan Viscose Staple Fibres (Quality Control) Order, 2022; Quality Control Orders for Chemical and Petrochemical Substances, dan Pneumatic tyres and tubes for automotive vehicles. Indonesia meminta India untuk menyediakan waktu yang cukup bagi pelaku usaha untuk menyesuaikan peraturan yang akan diberlakukan. 

Indonesia juga meminta India menotifikasikan penetapan peraturan atau perubahan peraturan yang telah berlaku melalui notifikasi addendum sehingga pelaku usaha dapat menyesuaikan. Lebih lanjut, Indonesia meminta India untuk mempertimbangkan opsi keberterimaan hasil penilaian kesesuaian melalui kerangka akreditasi dan Mutual Recognition Arrangements (MRA) / Multilateral Recognition Arrangements (MLA). 

Disamping untuk memastikan prosedur penilaian kesesuaian dilakukan oleh Lembaga yang kompeten dan kredibel, dapat juga mempercepat proses sertifikasi, menghindari duplikasi prosedur pengujian dan sertifikasi, dan dapat mengurangi biaya penilaian kesesuaian pelaku usaha yang melakukan ekspor produknya ke India.

Disamping isu offensive yang disampaikan, Indonesia juga masih menerima isu defensive terkait PP No. 28 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Perindustrian dan UU No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. 

Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Kanada masih mengangkat isu terkait PP 28 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Perindustrian. Disampaikan bahwa Indonesia telah melakukan notifikasi Permenperin 45 Tahun 2022 tentang Standardisasi Industri melalui dokumen G/TBT/N/IDN/152, namun notifikasi yang disampaikan pada 5 Januari 2023 telah efektif berlaku pada tanggal 1 November 2022. Dalam penyampaian notifikasi peraturan teknis, Indonesia diminta agar menyediakan waktu penyampaian komentar bagi Anggota WTO sesuai dengan Article 2.9.4 dan 5.6.4 Perjanjian TBT dan menyediakan waktu yang cukup sebelum memberlakukan peraturan teknis sesuai dengan Articles 2.12 dan 5.9 Perjanjian TBT. Lebih lanjut, Indonesia juga diminta untuk menjawab semua concern yang telah disampaikan sebelumnya baik yang disampaikan pada Sidang TBT maupun pertemuan bilateral.

Selanjutnya Amerika Serikat, Uni Eropa, Kanada, Swiss, Australia dan Selandia Baru kembali mengangkat kebijakan Indonesia mengenai Implementasi UU No. 33 Tahun 2014 terkait Jaminan Produk Halal. Indonesia diminta untuk menotifikasikan peraturan turunan dari UU No. 33 Tahun 2014 dalam bentuk rancangan peraturan sehingga memberikan waktu kepada Anggota WTO untuk menyampaikan komentar dan tanggapan. Anggota WTO mendorong Indonesia untuk terus memfasilitasi dialog yang terbuka dan transparan dengan mitra dagangnya untuk memungkinkan pelaku usaha luar negeri untuk tetap mendapatkan informasi yang memadai tentang peraturan pelaksanaan UU Jaminan Produk Halal.

Di sela Sidang Komite TBT WTO, Delegasi Indonesia melakukan pertemuan bilateral dengan Uni Eropa. Uni Eropa meminta klarifikasi terkait kegiatan penilaian kesesuaian dan ketersediaan sumber daya Indonesia untuk implementasi PP No. 28 Tahun 2021 dan Permenperin 45 Tahun 2022. Dalam pertemuan ini dibahas dukungan infrastuktur seperti lembaga sertifikasi produk dan laboratorium penguji untuk melakukan kegiatan penilaian kesesuaian untuk penerapan SNI yang diwajibkan. BSN sebagai Notification Body/Enquiry Point melakukan diseminasi terkait Perjanjian TBT WTO terutama perlunya implementasi prinsip transparansi dalam penyusunan regulasi. 

Rangkaian Sidang Komite kali ini dilaksanakan secara hybrid yaitu melalui in person participant maupun melalui aplikasi Interprefy, yang turut dihadiri oleh perwakilan Kementerian/Lembaga terkait seperti Kementerian Pedagangan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Pertanian, Badan POM serta Perutusan Tetap Republik Indonesia (PTRI) Jenewa. (notif-SPSPK/Ed: PjA - Humas)




­