Badan Standardisasi Nasional
  • A
  • A

Empat Sektor Manufaktur Alami Defisit Perdagangan US$ 1,36 M

  • Selasa, 25 Mei 2010
  • 1594 kali

Kliping Berita

IMPOR PRODUK MURAH TIONGKOK MELONJAK

Oleh Fransiskus Dasa Saputra ddn Indah Handayani

JAKARTA - Empat sektor manufaktur mengalami defisit perdagangan US$ 1,36 miliar pada tahun lalu. Nilai itu diperkirakan makin membengkak pada tahun ini seiring pemberlakuan perdagangan bebas Asean-Tiongkok (ACFTA).

Keempat sektor manufaktur itu adalah besi dan baja hulu, produk besi dan baja hilir, mesin dan peralatan mekanis, serta alat elektronik yang meliputi perekam dan pereproduksi suara, gam-bar, televisi, serta aksesorinya.

Angka defisit perdagangan keempat produk itu dihitung dari selisih ekspor dibandingkan impor. Nilai ekspor keempat produk manufaktur hanya US$ 375 juta, sedangkan impor mencapal US$ 1,73 miliar.

Menteri Perindustrian (Menperin) MS Hidayat mengakui, perkembangan ekspor empat produk manufaktur itu selama kurun 2005 sampai Februari 2010 menurun. "Sebaliknya, impor produk sejenis asal Tiongkok melonjak," katanya dalam rapat kerja (raker) dengan Komisi VI DPR di Jakarta, Senin (24/5).

Secara total, menurut dia, neraca perdagangan nonmigas Indonesia dengan Tiongkok pada 2004-2009 mengalami defisit dengan nilai yang semakin besar. Defisit terbesar terjadi pada 2008 dengan nilai mencapai US$ 7,16 miliar. Pada tahun itu, ekspor RI ke Tiongkok hanya mencapai US$ 7,79 miliar, sedangkan impor sebesar US$ 14,95 miliar.

Menurut Hidayat, untuk mengantisipasi defisit perdagangan yang makin besar, pemerintah telah menetapkan langkah khusus terhadap empat kelompok produk manufaktur itu. Upaya itu antara lain penerapan antidumping untuk produk baja jenis hot rolled coil (HRC), pengusulan antidumping untuk aluminium meal dish, baja profil I dan H, serta pengusulan Standar Nasional Indonesia (SNI) wajib untuk produk mainan, korek api gas, cold rolled coils (CRC), baja kebutuhan umum, kawat tali baja, kompor, meter air, dan roll karet untuk mesin penggulung alsintan.

 "Selain itu, Kemenperin mengusulkan penerapan safeguard untuk paku, safeguard untuk aluminium meal dish, kawat bendrad, kawat seng, dan wire rod" paparnya.

Bentuk Komite Khusus

Guna menanggulangi serbuan baja impor dari Tiongkok, lanjut Hidayat, Kemenperin bekerja sama dengan Kementerian Perdagangan serta asosiasi baja akan membentuk komite khusus. Komite itu bertugas mengawasi produk impor dari Tiongkok, khususnya produk baja dengan kualitas rendah.

"Komite tersebut nantinya akan melakukan penanggulangan melalui penerbitan berbagai kebijakan dalam rangka pengamanan industri baja di dalam negeri. Kami juga akan melibatkan Badan Koordinasi Penanainan Modal (BKPM),"tuturnya.

Hidayat menuturkan, pembentukan komite itu merupakan alternatif pilihan yang diambil setelah pemerintah menyepakati pembentukan joint working group untuk melakukan analisis data dan informasi perdagangan antara Indonesia dan Tiongkok pasca implementasi ACFTA.

"Kerja sama tersebut diharapkan dapat meningkatkan ekspor dan impor kedua negara. Namun perwakilan dari asosiasi baja dalam rapat koordinasi dengan kami mengatakan, penawaran tersebut bukan merupakan solusi yang tepat mengingat produk Indonesia lebih diprioritaskan untuk digunakan di dalam negeri dibandingkan untuk pasar ekspor," ujarnya.

Dalam pembentukan joint working group ACFTA di Yogyakarta, bulan lalu, Indonesia dan Tiongkok sepakat untuk memberikan prioritas pada sektor besi dan baja, tekstil dan produk tekstil, serta alas kaki. "Hal ini mengingat ketiga sektor tersebut mencak-up 80% dari 228 pos tarif yang menjadi keprihatinan Indonesia," tuturnya.

Hidayat juga menyatakan, ada beberapa langkah yang akan ditempuh pemerintah dalam rangka menekan seminimal mungkin dampak negatif implementasi ACFTA terhadap industri nasional. "Salah satunya memberikan insentif fiskal berupa bea masuk ditanggung pemerintah (BM-DTP) kepada beberapa industri, seperti alat berat, PLTU, kawat ban, karpet, dan bolpoln," ujarnya.

Sementara itu, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Gita Wirjawan mencatat realisasi investasi Tiongkok dan Hong Kong ke Indonesia meningkat setelah penandatanganan perjanjian ACFTA 2003-2009. "Pada periode 2003-2009 atau pasca penandatanganan ACFTA, investasi Tiongkok dan Hong Kong justru meningkat," katanya.

Data BKPM menunjukkan, realisasi investasi dari Tiongkok 2003-2009 rata-rata US$ 57,4 juta per tahun, dengan penyerapan tenaga kerja 2.996 orang. Angka realisasi investasi Tiongkok tersebut lebih tinggi dibanding 1999-2002 yang hanya US$ 2,5 juta dengan menyerap tenaga kerja 188 orang. Sedangkan realisasi investasi Hong Kong pasca-penandatanganan ACFTA mencapai ITS$ 160 juta, dengan penambahan tenaga kerja 5.682 orang per tahun.

Sumber : Investor Daily, Selasa 25 Mei 2010, hal. 22.




­