Badan Standardisasi Nasional
  • A
  • A

Konsumsi cokelat rendah hambat industri kakao

  • Selasa, 16 Agustus 2011
  • 1260 kali
Kliping Berita

JAKARTA Pengembangan industri hilir kakao di dalam negeri masih terhambat oleh pertumbuhan konsumsi bubuk kakao yang lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan produksi, meskipun pemerintah telah menerapkan bea keluar kakao sejak tahun lalu.

"Hanva 25% dari produksi bubuk kakao yang diserap oleh industri lokal, selebihnya dipasarkan ke luar negeri, walaupun ada investasi baru seperti Nestle di Jawa Barat yang diperkirakan mengonsumsi 4.000 ton bubuk cokelat per tahun," kata Direktur Eksekutif Asosiasi Industri Kakao Indonesia (AIKI) Sindra Wijaya kemarin.

Dia menjelaskan kebutuhan bubuk kakao untuk industri dalam negeri belum banyak karenakonsumsi produk makanan berbasis cokelat relatif rendah, yakni sekitar 0,2 kilogram per kapita per tahun.

Sebagai perbandingan, konsumsi kakao Malaysia mencapai 0,6 kg per kapita, sementara negara dengan konsumsi cokelat tinggi, seperti Swiss dan Jerman masing-masing 10,2 kg per kapita dan 9 kg per kapita per tahun.

Selain itu, lanjut Sindra, sebagian besar produk makanan berbasis cokelat di Indonesia menggunakan minyak nabati dalam skala besar untuk menggantikan tuhan baku kakao. Selama ini, produk cokelat, khususnya cokelat batangan, menggunakan campuran minyak nabati untuk menggantikan tahan baku cokelat cair.

Pemerintah, menurut dia, bisa menerapkan standar campuran balun baku berbasis cokelat un-tuk mendorong penghiliran industri kakao hingga produk akhir.

"Dalam aturan Codex yang berlaku di Eropa, produk cokelat hanya boleh menggunakan kandungan noncokelat di bawah 5%. Jika aturan itu diimplementasikan di Indonesia, konsumsi cokelat bubuk bisa semakin besar," kata Sindra.

Dia memperkirakan produksi bubuk cokelat nasional lebih dari 200.000 ton pada tahun depan setelah 14 investasi baru dan proyek perluasan pabrik terealisasi. Investasi 14 perusahaan itu pada tahun ini akan menambah kapasitas industri kakao olahan hingga 400.000 ton pada 2012.

"Dari 400.000 ton bahan baku tersebut, kira-kira akan menghasilkan 200.000 ton bubuk cokelat untuk diekspor dan dijual ke industri dalam negeri." katanya.

Sindra mengatakan kapasitasindustri kakao nasional terus naik sejak pemberlakuan bea keluar biji kakao pada 2009. "Karena ada bea keluar, investasi untuk pabrik kakao dan pabrik cokelat terus berdatangan. Dari tahun ini ke (ahun depan malah melonjak," ucapnya.

Setelah implementasi bea keluar biji kakao, konsumsi biji kakao industri dalam negeri naik menjadi 180.000 ton pada 2010 dari 125.000 ton pada 2009. Tahun ini, industri kakao dalam negeri diprediksi menyerap 280.000 ton biii kakao.

Insentif
Di tempat terpisah, Ketua Umum Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo) Zulhefi Sikumbang mengatakan sejumlah pabrik pengolahan kakao setengah jadi atau grinder mulai mendapatkan insentif untuk membeli bahanbaku lebih murah dibandingkan dengan pesaing di luar negeri, menyusul penerapan bea keluar kakao setahun terakhir.

"Pemberlakuan bea keluar kakao mulai terlihat tanda-tanda peningkatan dalam realisasi pengolahan kakao. Sayangnya, dari industri yang tersisa, tujuh pabrik masih bekerja jauh dari kapasitas terpasang mereka," ungkapnya.

Dia menjelaskan tujuh pabrik itu sebelumnya sempat mati suri. Penerapan bea keluar dalam setahun terakhir temyata tidak cukup mampu untuk mendorong mereka bekerja lebih efisien.

"Bukan karena bea keluar baru berjalan 1 tahun, tetapi lebih terkait dengan kemampuan dalam mencari modal kerja, mesin sudah tua, dan masalah pemasaran." ujarnya. /bambang SUPRIYANTO)

Sumber : Bisnis Indonesia, Selasa 16 Agustus 2011. Hal 11




­