Badan Standardisasi Nasional
  • A
  • A

Program Konversi Perlu Tentukan Jenis BBG

  • Senin, 16 Januari 2012
  • 1357 kali
Kliping Berita

Pemerintah dinilai perlu menetapkan satu jenis bahan bakar gas dalam program konversi BBM, apakah akan menggunakan Compressed Natural Gas (CNG) atau Liquified Gas for Vehicle (LGV).

Ekonom Universitas Gajah Mada (UGM) Anggito Abimanyu mengatakan saat ini ada dualisme penggunaan jenis bahan bakar gas yakni antara CNG dan LGV. Pemerintah perlu menetapkan satu jenis bahan bakar gas dengan kriteria kelayakan harga, teknis, dan safety.

"Pemerintah mau pilih yang mana? Pastikan, CNG atau LGV? Kami sarankan bisa memilih bahan bakar gas itu satu saja, yang penOng bagi masyarakat adalah paling murah harganya dan paling aman pemakai annya," ujarnya kemarin.

Saat ini CNG dikenal dengan merek BBG seharga Rp3.100 per liter setara Premium (LSP) dan rencananya dinaikkan menjadi Rp4.100 per LSP. Adapun, LGV dikenal dengan merek Vi-Gas seharga Rp5.600 per LSP dan harga ini barn dinaikkan per 10 Januari 2012 dari semula Rp3.600 per LSP pads 2009.

Jika diilihat dari harga dan efisiennya, Anggito mengatakan ekonom UGM dan UI sepakat menyarankan pemerintah agar memilih CNG dibandingkan dengan LGV.

"CNG itu bahan bakunya gas alam, LGV itu turunan dari minyak bumi. Harga CNG kalaupun ndnti Rp4.100 per LSP masih lebih murah dibandingkan LGV yang Rp5.600 per LSP, dari harga saja sudah berbeda," ujarnya.

Anggito mengatakan UGM dan UI mendukung pemerintah menjalankan program konversi BBM ke bahan bakar gas, tetapi pemerintah jangan terburuburu karena berbagai aspek harus diperhatikan. Dari sisi kesiapan infra struktur misalnya, belum ada kepastian gas untuk memasok kebutuhan SPBG yang nanti akan diperbanyak di kota-kota di luar Jabodetabek.

Pengujian

Selain itu, kebutuhan converter kit (perlengkapan konversi kendaraan dari BBM ke bahan bakar gas) tahun ini tidak mungkin disediakan di dalam negeri. Hasil kajian UGM menunjukkan produksi converter kit dan pengujiannya membutuhkan waktu minimal 1 tahun.

"Kami katakan konversi ke bahan bakar gas ini jalan terus, tetapi lakukan kajian dulu dong. Jangan tiba-tiba misalnya PT Dirgantara Indonesia diminta membuat puluhan ribu converter kit. Selesaikan dulu infra--stukturnya secara benar. Kesanggupan PT DI menyediakan seluruh kebutuhan converter kit perlu dikonfirmasi ulang," ujarnya.

Jayan Sentanuhady, pengajar Fakultas Teknik UGM menyarankan pemerintah agar melakukan analisis, baik safety maupun performance.

"Masyarakat jangan dihadapkan pada kebingungan. Yang paling penting itu safety, mari kita belajar dari kasus konversi minyak tanah ke LPG. Kami harap pemerirtfafi belajar sehingga kami usulkan agar safety didahulukan," ujarnya.

Menurut Jayan pemerintah perlu melakukan safety education kepada masyarakat terkait dengan penggunaan converter kit. Selain itu, perlu ada standardisasi komponen pada converter kit, apakah itu SNI, ISO atau sertifikasi lainnya.

"Kita sudah punya SNI mengenai converter ini, tabung gas sudah ada. Tapi yang jadi masalah adalah kita tak punya standardisasi instalasi, termasuk orangnya," ujarnya. (oi)

Sumber : Bisnis Indonesia, Sabtu 14 Januari 2012, Hal 12




­