Badan Standardisasi Nasional
  • A
  • A

Lonjakan Impor Diwaspadai

  • Rabu, 13 Januari 2010
  • 1130 kali

JAKARTA (SI) – Direktorat Jenderal (Ditjen) Bea Cukai diminta mewaspadai lonjakan produk-produk impor setelah implementasi perjanjian perdagangan bebas (free trade agreement/FTA) ASEAN-China.

”Besok Kamis (14/1), saya akan ke Bea Cukai di Tanjung Priok untuk diskusi agar sewaktu-waktu bisa diaktifkan safeguard bila terjadi serbuan barang impor,” papar Menteri Perindustrian MS Hidayat di Kantor Menko Perekonomian, Jakarta kemarin. Menurut dia, Indonesia bisa membuat mekanisme untuk meneliti terlebih dulu barang-barang impor yang masuk sesuai ketentuan Indonesia, seperti Standar Nasional Indonesia (SNI) dan Surat Keterangan Asal (SKA).

Namun, kata dia, perlindungan yang terbaik adalah melakukan negosiasi pos tarif prioritas. Di tempat terpisah,Kepala Departemen Ekonomi FE UI Suahasil Nazara mengatakan,FTA ASEAN China merupakan peluang perdagangan yang penuh ancaman bagi Indonesia. ”Walaupun banyak ancaman, tapi tetap peluang bagi perdagangan Indonesia,” tandasnya.

Suahasil mengungkapkan,dampak dari FTA bagi konsumen dan produsen harus dilihat secara komprehensif. Bagi konsumen,kata dia,terbukanya pasar maka pilihan barang semakin banyak sehingga harga akan makin murah.Namun, bagi produsen berarti persaingan yang semakin ketat dengan turunnya tarif bagi produk-produk China.

”Untuk itu,yang tidak siap seharusnya disiapkan sejak delapan tahun yang lalu,”ujarnya. Pemerintah mengatakan,meski telah melakukan upaya sosialisasi FTA, namun belum mampu menguatkan daya saing industri lokal. ”Hal yang dibutuhkan bukan cuma sosialisasi, tapi juga perbaikan iklim usaha.Pekerjaan rumah pemerintah seharusnya sudah diselesaikan sebelumnya,”paparnya.

Ketua Komite Indonesia Bangkit Rizal Ramli mengatakan, Indonesia harus bisa mempersiapkan industri dalam negeri dalam menghadapi FTA.”Dalam waktu lima tahun, pemerintah harus mempersiapkan industri dalam negeri agar produknya bisa bersaing dengan produk China yang murah,”ujarnya.

Rizal menjelaskan,banyak upaya yang harus dilakukan oleh pemerintah, seperti mengubah kebijakan ekonomi yang belum berpihak sepenuhnya pada sektor riil. ”Pemerintah harus mengganti kebijakan ekonomi yang sangat mendewakan sektor keuangan dan tingkat bunga yang tinggi menjadi tingkat bunganya yang rendah.

Dengan demikian,juga mengganti kebijakan nilai tukar yang terlalu menyerahkan pada pasar menjadi nilai tukar yang jauh lebih lemah,” ujarnya. Menurut dia, kebijakan yang dibuat pemerintah China sangat mendukung industri dalam negerinya. Dia mencontohkan,nilai tukar yuan yang sengaja dibuat rendah agar harga jual ekspornya juga rendah.

”Tingkat bunga kredit di sana juga murah dibanding Indonesia. Misalnya selisih bunga kredit dan simpanan di Indonesia mencapai 7%, sedangkan di sana 1%,” tuturnya. Indonesia, kata dia, tidak bisa selalu hanya membanggakan produk pertanian dan perkebunan karena jauh lebih unggul daripada China. ”Kalau kita hanya mengandalkan produk pertanian dan perkebunan akan kembali ke struktur ekonomi kolonial, yakni menjadi sumber bahan baku dan pasar produk murah,”paparnya.

Pakar hubungan internasional Universitas Indonesia Syamsul Hadi mengatakan, tutupnya perusahaan manufaktur akibat produk dalam negeri kalah saing dengan produk China bisa menghilangkan lapangan kerja. ”Sekitar 62% dari tenaga kerja kita bekerja di sektor informal, seperti usaha kecil menengah,”kata Syamsul. Sementara Ketua Bidang Perdagangan Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Harry Warganegara mengatakan, pemerintah harus memberi insentif khusus bagi industri dalam negeri.

”Pemerintah harus punya langkah offensif dengan memberi insentif bagi industri,seperti pengurangan bunga pinjaman bagi eksportir dan bantuan untuk mendaftarkan merek bagi Usaha Kecil Menengah (UKM).”ungkapnya. Sementara itu,Wakil Ketua Komisi VI DPR Nurdin Tampubolon mengatakan, DPR akan mengevaluasi pelaksanaan FTA ASEAN China.

Menurutnya, implementasi FTA dikhawatirkan akan berdampak buruk pada keterpurukan produksi di dalam negeri sehingga mendorong angka pengangguran. ”Jika hasilnya nanti justru membawa keterpurukan terhadap perekonomian Indonesia, maka ini akan menjadi domain politik.

Evaluasi ini akan dilakukan untuk mengukur baik buruknya perjanjian tersebut,”papar Nurdin kemarin. Dia menjelaskan, untuk mengevaluasi ini DPR sudah mempersiapkan diri untuk membahasnya dengan pemerintah melalui menteri-menteri yang terkait guna melihat strategi-strategi yang sudah dipersiapkan tersebut. (sandra karina/ant/ rahmat sahid)

Sumber : Koransindo, Rabu 13 Januari 2010, Hal. 15




­