Badan Standardisasi Nasional
  • A
  • A

Produk China Sulit Dicegah

  • Kamis, 14 Januari 2010
  • 1397 kali

JAKARTA, KOMPAS.com — Serbuan produk China sudah sulit dicegah. Pasar Tanah Abang sebagai ikon pusat perdagangan tekstil dan produk tekstil terbesar di Asia Tenggara sudah dikuasai 47 persen produk China. Produk lokal yang diakui cukup berkualitas dengan harga bersaing kian terancam.

Kondisi ini ditemukan Menteri Negara Urusan Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Syarifuddin Hasan saat berkunjung ke Pasar Tanah Abang, Jakarta, Rabu (13/1/2010). Kunjungan untuk melihat langsung keberadaan produk China, apalagi sejak 1 Januari 2010 diimplementasikan Perjanjian Perdagangan Bebas ASEAN-China.

Angka 47 persen produk China di Tanah Abang itu diketahui dari secarik kertas dari CEO PT Priamanaya Radiza Djan kepada Menneg Koperasi dan UKM. Di situ tertulis perkiraan kasar produk China yang diperdagangkan di pusat grosir tekstil tersebut.

Produk China yang mulai menguasai Pasar Tanah Abang itu terdiri atas pakaian anak-anak dan anak dewasa, termasuk garmen berbahan baku jins. Tas China pun marak diperdagangkan.

Dari sejumlah kios, Menneg Koperasi dan UKM mendapatkan informasi bahwa produk Indonesia tidak kalah kualitasnya. Harganya pun lebih murah sehingga konsumen masih lebih banyak meminati produk Indonesia.

Namun, ketika ditanyakan bahan bakunya, sebagian besar pedagang menyebutkan, bahan baku asal China. Syarifuddin tidak terlihat kecewa. ”Tidak apa-apa. Yang penting bahan bakunya diolah di sini. Jadi, kita bisa membuka lapangan kerja dan mendapat nilai tambahnya, tidak sekadar memperdagangkan produk jadi dari China,” ujar Syarifuddin.

Kedatangan Menteri dan jajarannya yang didampingi pengelola pasar membuat sejumlah pedagang yang dikunjungi menunjukkan bahwa produk Indonesia tidak kalah bersaing. Harganya pun kompetitif.

Ahmad Amirudin, pedagang selendang, menunjukkan selendang China dan produk lokal. Selendang China ditawarkan Rp 17.500 per potong, sedangkan selendang lokal hanya Rp 15.000 per potong.

Yulia, pedagang busana muslim, pun menuturkan, baju koko dari China mencapai Rp 150.000 per potong. Produk lokal hanya Rp 125.000 per potong. ”Konsumen masih lebih memilih produk lokal,” katanya.

Namun, sejumlah pedagang yang ditemui Kompas tetap menyatakan, produk China lebih berkualitas. Murahnya harga produk China sudah sulit disaingi. Model dan motifnya mengikuti perkembangan zaman.

Industri manufaktur
Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Perindustrian, Riset, dan Teknologi Rahmat Gobel secara terpisah mengatakan, ”Tanpa FTA saja kita sudah keteteran menghadapi penetrasi produk manufaktur dari China.”

Menurut Rahmat, sektor yang sangat memprihatinkan adalah industri manufaktur. Sektor ini terus mengalami perlambatan hingga mencapai titik terendah pada triwulan III dengan pertumbuhan 1,3 persen.

Namun, Rahmat menegaskan, China tidak perlu ditakuti. Yang terpenting, pemerintah sungguh memprioritaskan proteksi terhadap masuknya produk luar yang dilakukan secara ilegal. Standar Nasional Indonesia (SNI) dan kebijakan safeguard mulai diperketat lagi. Juga, tumbuhkan kecintaan pada penggunaan produk dalam negeri. (OSA)
Sumber : Kamis, 14 Januari 2010, Hal.20




­